Pendidikan formal sering diasosiasikan dengan proses pembentukan karakter, pengetahuan, dan keterampilan yang ideal bagi generasi muda. slot deposit qris Namun, di balik struktur rapi dan rutinitas yang terorganisir, terdapat bentuk kekerasan yang jarang disadari—kekerasan yang tidak berwujud fisik, tetapi mengakar dalam sistem: kekerasan terselubung melalui aturan.
Aturan dibuat untuk menjaga ketertiban dan kedisiplinan di lingkungan pendidikan. Namun, tidak semua aturan lahir dari pertimbangan keadilan dan pemahaman terhadap kebutuhan siswa. Sebagian justru memunculkan tekanan psikologis, penyeragaman cara berpikir, hingga pemaksaan nilai yang mengabaikan keragaman latar belakang dan potensi anak.
Aturan sebagai Alat Kontrol, Bukan Pembimbing
Banyak sekolah menjalankan aturan yang tampaknya sederhana, seperti seragam ketat, larangan memiliki gaya rambut tertentu, atau jam belajar panjang tanpa kompromi. Meskipun dimaksudkan untuk membentuk kedisiplinan, aturan semacam ini sering mengarah pada penyeragaman yang meniadakan identitas pribadi. Siswa yang tidak sesuai dengan standar dianggap “bermasalah”, padahal bisa jadi mereka hanya memiliki ekspresi diri yang berbeda.
Kekerasan terselubung muncul ketika aturan tidak lagi menjadi panduan yang lentur, tetapi menjadi alat kontrol absolut. Ketika siswa dihukum karena atribut fisik atau pilihan ekspresi yang tidak mengganggu proses belajar, maka aturan telah berubah menjadi bentuk represi.
Ketika Suara Siswa Tak Dianggap
Dalam sistem pendidikan formal, suara siswa sering tidak memiliki ruang yang cukup untuk terdengar. Banyak keputusan dibuat sepihak oleh pihak sekolah tanpa melibatkan mereka yang mengalami dampaknya secara langsung. Mulai dari metode pengajaran, sistem penilaian, hingga cara memberikan hukuman, semuanya jarang dipertanyakan.
Ketidakhadiran mekanisme dialog ini menjadikan siswa hanya sebagai objek, bukan subjek dalam pendidikan. Padahal, pendidikan seharusnya menciptakan ruang dialog, kritik, dan partisipasi aktif dari semua pihak.
Standar yang Menekan dan Merusak Kesehatan Mental
Sistem nilai dalam pendidikan formal kerap memberi tekanan luar biasa terhadap pencapaian akademik. Aturan mengenai peringkat, ujian standar, atau target nilai tertentu menjadikan siswa hidup dalam ketakutan gagal. Ini adalah bentuk kekerasan psikologis yang terselubung namun berpengaruh besar.
Tidak sedikit siswa yang mengalami kecemasan, kehilangan rasa percaya diri, bahkan depresi karena tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan. Mereka bukan tidak cerdas, melainkan sistem yang tidak mampu menerima variasi cara belajar dan keberagaman kemampuan.
Hukuman dan Disiplin yang Tak Proporsional
Beberapa sekolah masih menerapkan hukuman yang tidak mendidik, seperti skorsing atau pengucilan sosial. Bentuk hukuman ini tidak menyelesaikan akar permasalahan, melainkan memperkuat jarak antara siswa dan sistem pendidikan. Alih-alih memahami sebab perilaku siswa, sistem hanya menekankan pada kepatuhan terhadap aturan, tanpa empati.
Disiplin yang tidak disertai pemahaman justru melanggengkan pola kekerasan: menghukum tanpa mendengarkan, mengoreksi tanpa membimbing.
Kesimpulan: Membangun Pendidikan yang Lebih Manusiawi
Kekerasan dalam pendidikan tidak selalu hadir dalam bentuk fisik. Dalam banyak kasus, ia muncul secara halus melalui aturan, prosedur, dan kebijakan yang menekan ekspresi, suara, dan keberagaman siswa. Aturan yang dibuat tanpa ruang untuk refleksi dan partisipasi bisa menjadi beban psikologis yang tak terlihat.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang memberi rasa aman, bukan menumbuhkan ketakutan. Untuk itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap bagaimana aturan dijalankan dan apakah ia masih berfungsi untuk mendidik atau justru mengontrol secara represif. Menghadirkan pendidikan yang lebih manusiawi berarti mengutamakan dialog, empati, dan penghargaan terhadap keberagaman setiap individu.