Di tengah kebosanan rutinitas sekolah yang monoton, sebuah format pembelajaran baru muncul dari komunitas pendidikan alternatif di Asia Tenggara: SeruSeru Learnathon. Acara ini merupakan maraton belajar selama 48 jam non-stop yang menggabungkan eksperimen sosial, pembelajaran lintas disiplin, dan teknologi interaktif. slot neymar88 Dengan pendekatan kolaboratif dan non-konvensional, Learnathon tak hanya meredefinisi cara belajar, tetapi juga menciptakan ruang baru di mana anak-anak bisa mengeksplorasi pengetahuan dengan cara yang tidak mereka temui di sekolah biasa.
Format Baru yang Melepaskan Diri dari Jadwal Kaku
SeruSeru Learnathon menolak sistem kelas terstruktur dan jadwal pelajaran bergilir. Sebagai gantinya, peserta—mulai dari anak usia 10 tahun hingga remaja SMA—diberi kebebasan untuk memilih proyek, tantangan, dan lokakarya yang diminati selama 48 jam penuh. Kegiatan berlangsung di sebuah ruang terbuka yang dirancang menyerupai kamp belajar: tenda, papan tulis portabel, layar digital, dan zona istirahat diatur sedemikian rupa untuk menciptakan suasana belajar yang dinamis.
Meskipun terdengar seperti acara hiburan, struktur Learnathon dirancang dengan prinsip pedagogi progresif: peserta bekerja dalam kelompok lintas usia, dibimbing oleh fasilitator dari berbagai latar belakang, mulai dari guru hingga desainer dan ilmuwan. Tidak ada ujian, tidak ada nilai, tetapi ada presentasi akhir yang menunjukkan apa yang telah dipelajari atau diciptakan.
Proyek Nyata, Pembelajaran Bermakna
Salah satu keunikan Learnathon adalah fokusnya pada proyek dunia nyata. Misalnya, tim remaja membuat purwarupa filter air dari bahan daur ulang, sementara kelompok lain menciptakan kampanye digital untuk melawan perundungan daring. Beberapa memilih untuk mengembangkan gim edukasi menggunakan platform open-source.
Pembelajaran tidak lagi sekadar mengingat fakta, melainkan menghubungkan konsep lintas mata pelajaran—sains, seni, teknologi, dan etika—dalam satu proyek konkret. Proses belajar menjadi multidimensi dan sangat kontekstual.
Bukan Sekadar Belajar, tapi Juga Transformasi Sosial
Learnathon juga menghadirkan nilai-nilai sosial yang kerap diabaikan dalam pendidikan formal. Anak-anak belajar tentang kerja sama, kepemimpinan, komunikasi lintas budaya, bahkan perawatan diri. Di tengah malam, mereka mengikuti sesi refleksi, yoga, atau berbagi cerita api unggun—aktivitas yang membangun empati dan keseimbangan emosi.
Dalam satu edisi yang digelar di Yogyakarta, panitia sengaja melibatkan anak-anak dari latar belakang ekonomi berbeda. Beasiswa disediakan, dan materi belajar disusun agar inklusif. Semua peserta mengenakan pakaian kasual dan tidak membawa seragam sekolah, simbol bahwa hierarki dihapus dalam ruang belajar ini.
Teknologi Sebagai Jembatan, Bukan Fokus Utama
Meski teknologi hadir dalam bentuk tablet, koneksi internet, dan presentasi interaktif, Learnathon tidak menjadikan perangkat digital sebagai pusat aktivitas. Teknologi digunakan sebagai alat bantu untuk eksplorasi, bukan pengganti guru. Platform berbasis VR, audio storytelling, dan coding dipilih bukan karena tren, tetapi karena relevan dengan proyek yang dikerjakan peserta.
Pendekatan ini menghindari kebergantungan pada teknologi sambil tetap memanfaatkan potensinya secara kritis.
Tantangan dan Harapan untuk Replikasi
Menggelar acara seperti Learnathon tidaklah mudah. Diperlukan persiapan logistik intensif, fasilitator yang memahami pendidikan alternatif, serta pemahaman orang tua yang mendukung. Belum semua sekolah atau wilayah mampu mengadopsinya. Namun, beberapa lembaga pendidikan mulai mencoba versi mini Learnathon dalam bentuk weekend lab atau proyek tematik bulanan.
Para penggagas berharap bahwa konsep semacam ini dapat menjadi inspirasi bagi reformasi pendidikan formal, tanpa harus mengganti kurikulum secara ekstrem. Intinya bukan pada bentuk acaranya, melainkan semangat eksplorasi dan kemandirian yang dibawanya.
Kesimpulan
SeruSeru Learnathon menunjukkan bahwa ketika anak-anak diberi ruang dan kepercayaan untuk mengatur cara belajarnya sendiri, hasilnya bisa melampaui ekspektasi sistem tradisional. Dengan pendekatan proyek, lingkungan kolaboratif, dan semangat inklusi, maraton belajar ini membuktikan bahwa pendidikan bisa menjadi pengalaman yang membebaskan, mendalam, dan bermakna secara sosial maupun intelektual.